Ini adalah kisah si Jono, pemuda tanggung yang sangat antusias dan yakin bahwa hidup di era industri 4.0 ini adalah tentang entrepreneurship, digitalisasi dan aplikasi (?). Berbeda dengan kisah si Joko, Jono adalah orang yang sadar bahwa startup ini adalah tentang kerja tim. He’s better than Joko.
Karakter Jono ini adalah fiktif adanya, namun kisahnya bisa saja pernah kamu alami sebelumnya. So, butt hurt alert!
Kisah ini bermula saat kota domisili Jono, sebut saja Makapolis sedang gencar gencarnya diadakan kegiatan bertema pitching competition, startup bootcamp, sharing session, dan event — event startup lainnya. Jono termasuk hadirin yang pantang untuk absen menghadiri acara — acara serupa. Mendapatkan inspirasi, relasi dan peluang adalah reward yang paling ditunggu — tunggu oleh Jono ketika menghadiri acara tersebut, selain makan siang di hotel tentunya.
Kisah kisah tentang para founder papan atas, bagaimana proses mereka dari 0 hingga menjadi unicorn. Kisah tentang proses validasi pasar, menjaring data pengguna, data driven product hingga growth hacking adalah istilah yang sudah diluar kepala Jono. Ia bahkan lebih fasih menjelaskan apa itu growth hacking dibanding menghafal Pancasila. Sungguh sosok pemuda milenial masa kini. Boleh dibilang, Jonolah yang paling kenal segala struggle yang dilewati para founder papan atas tersebut sebelum menjadi perusahaan unicorn kebanggan bangsa.
Akhirnya sampailah pada momen yang ditunggu — tunggu. Jono akhirnya menemukan sebuah ide yang sangat brilian dan potensial dirasanya. “Ini saatnya membangun sendiri bisnisku!” pikir Jono dalam hati. Maka bergegaslah Jono membuat sebuah pitchdeck, berbekal ilmu yang dia dapatkan dari berbagai kelas startup bootcamp, artikel, dan sebagainya.
Hari itu telah tiba. Aplikasi sudah stabil, landing page sudah mantap. Kini waktunya Jono me-launching layanannya. Dan voila~ kini Jono sudah resmi menjadi anak startup sejati. Ia pun kini berdandan layaknya seorang Mark Zuckerberg dengan kaos oblong khasnya, jeans dan sneakers. Bedanya, Jono saat ini masih di level pengguna converse KW boleh beli di online shop IG.
Hari berlalu, bulan berganti, tahun pun berubah, Jono masih gitu — gitu aja. Satu satunya achievement Jono adalah kini dia sudah menemukan side kick-nya. Sebut saja Anton. Anton yang dulu seorang mantan pegawai perusahaan ritel, kini menyandang posisi tak tanggung tanggung, Chief bla bla bla Officer. Sebuah pencapaian luar biasa. Anton yang dulunya kasir, kini memiliki 40% saham di sebuah perusahaan digital. Perusahaan besutan Jono tentunya.
Jono, yang hingga saat ini masih berjuang dengan gigih membangun startup impiannya, percaya betul bahwa ia sudah paham dengan segala kesulitan membangun startup dari kisah kisah sukses para founder papan atas. Ia percaya bahwa membangun startup itu tidak mudah. Tapi, Jono lupa untuk sanggup menjawab 4 pertanyaan mendasar sebelum terjun di dunia startup. Bukan, bukan tentang investor, market size dan semacamnya. Tapi tentang:
1. Bisakah Jono Menjawab Pertanyaan Ibunya: “Jon, Kamu Kerja Apa Sih Sebenarnya?”
Jono, seorang pemuda yang dicekoki kisah inspiratif dari para founder itu lupa akan pertanyaan ini. Sadar tidak sadar, Jono hampir setiap hari dicecar pertanyaan yang sama oleh ibunya. “Jono, kamu itu sebenarnya kerja apa sih? Tiap hari depan laptop, apa menghasilkan tuh?” tanya ibunya. Jono menjawab “Mam, Jono tuh sedang bikin website jualan online gitu kayak warungpedia. Jadi orang bisa jualan bla bla bla…”. Seakan penjelasan Jono terdengar tidak masuk akal, ibunya pun bertanya “emang meghasilkan? mending kamu cek deh itu ada penerimaan CPNS, daripada kamu ga jelas kayak gini”.
Mendengar kalimat tersebut keluar dari mulut ibunya, Jono sedikit marah. Namun ia mencoba menghibur dirinya dengan berkata dalam hati “Ibu belum liat aja. Suatu hari nanti aku akan ada dalam acara Kick Andy bersama startupku ini”.
Ya boleh saja sih Jon. Sayangnya kamu lupa, pitching depan mama kamu saja, kamu gagal bangsat.
2. Menjawab Pertanyaan Teman Teman, “Jon, Startupmu Emang Udah Sampe Mana?”
Mama mungkin termasuk calon user yang susah untuk di akuisisi karena pemahaman mereka tentang dunia digital masih rendah. Tapi bagaimana dengan rekan rekan sejawat sebaya? Hari itu Jono menghadiri acara reuni SMAnya di sebuah kafe.
Datanglah teman temannya. Si A ternyata sudah bekerja di PT Palundo, Si B sekarang Manager di PT X, dan si C sekarang ternyata karyawan di Bank G. Berkumpullah A,B,C dan Jono yang dulu teman satu geng, dengan seragam kantor masing — masing tentunya karena acaranya pas jam pulang kerja. Bagaimana dengan Jono? Tentu saja dia pun hadir dengan “seragam” kerjanya. Baju polos putih dengan jeans dan sneaker converse (KW) yang sudah mulai lusuh.
Teman temannya mulai bertanya tentang perkembangan startup Jono. Tentu saja Jono memberikan jawaban yang bisa menghibur hatinya. “Lagi progress”. Itu kira kira template jawaban Jono setiap ditanya tentang perkembangan startupnya. Lalu tiba tiba, A membuka percakapan “Eh tadi tuh sialan banget ya superviser gue bla bla bla…”. Si B lalu membahas “Iya tadi anak ODP tuh bla bla bla…”. Jono yang dalam hati mulai merasa minder karena tidak punya pembahasan serupa mencoba menghibur diri. “Ah setidaknya gue kerja sendiri. Ga kayak mereka mereka. Mau jabatan apa juga, karyawan ya karyawan. Biar rajin gimana juga gaji lu gitu gitu aja” pikirnya dalam hati.
Iya Jon, iya. Mereka biar kerja kayak quda juga gajinya gitu gitu aja. Tapi kenyataannya biar mereka malas juga setidaknya penghasilan mereka tetap lebih besar dibandingkan kamu yang 2 tahun ini gitu gitu aja.
3. Menjawab Pertanyaan Dari Diri Sendiri: Kantor Gue Dimana??
Setelah banyak kejadian yang di alami Jono, yang belum pernah dia dengar sebelumnya dari setiap seminar — seminar yang dia hadiri, Jono pun mulai gusar. Suatu hari, ia sedang berada di coworking space (gratisan) andalannya. Tiba tiba, temannya si A menelfon Jono. “Jon, lagi dimana lu? Sibuk ga?”
Jono yang saat itu mendadak terdiam. Bingung mau jawab apa. Mau bilang lagi di kantor, ini kan bukan kantor dia. Mau bilang di working space, takutnya nanti harus menjelaskan working space itu apa. “Ya gue lagi di jalan X nih. Lg sibuk dikit sih. Napa bro?” Jawab Jono yang saat itu memang sedang “sibuk” menonton video pitching Ginder di Youtube, sambil membuka portal berita startup.
Jono yang saat itu bingung mau menjawab sedang di mana dan terpaksa mengaku sedang sibuk untuk menjaga integritasnya sebagai seorang pebisnis muda mulai dihantui rasa tidak nyaman dengan kondisi yang dibuatnya ini sendiri, dan akhirnya mulai bertanya pertanyaan yang terakhir:
4. Sebenarnya Saya Sedang Apa???
Jono pun akhirnya bertanya tanya pada dirinya sendiri. Saat ini saya sedang apa sih? Produk yang saya buat ini sepertinya tidak mendatangkan hasil apa apa selama dua tahun belakangan. Anton, yang saya iming imingi status co-founder dengan imbalan saham yang saya sendiri ga tau saham apa itu. Bahkan, Anton pun mulai berteriak tentang penambahan SDM yang saya sendiri belum sanggup untuk membayar gajinya.
Sebenarnya, apa yang saya lakukan selama ini? Apakah saya sedang mencoba membangun startupku, atau saya hanya sedang mencoba menjadi sosok yang sering diceritakan oleh para pembicara di panggung — panggung startup yang saya hadiri selalu?
Jono mulai resah. Ia mencoba membuka halaman Facebooknya untuk rileks sejenak. Tiba tiba, di Facebook muncullah fitur “on this day”. Jono tertarik untuk melihat postingannya selama dua tahun belakangan. Alangkah kagetnya Jono. Ia ternyata kerap memposting sesuatu yang membuat dirinya merasa lebih dibandingkan mereka yang bekerja sebagai karyawan kantoran. Merasa menjadi founder startup adalah sesuatu yang superior.
Melihat postingannya itu, ia lantas menutup tab lainnya di browser. Tab Jobsdb.com. Ya, Jono sudah mulai putus asa, dan memutuskan untuk bekerja seperti manusia biasa. Namun, kini ia bimbang. Bimbang di atas integritas palsu yang telah dia bangun akibat over dosis kisah motivasi para pesohor startup.
Source : Reza Alamsyah Maulana