M. Alfatih Timur, Founder dan CEO dari situs penggalangan dana kitabisa.com, siapa yang tidak tahu situs yang ternyata merupakan bentuk implementasi dari kotak amal digital.
Kesuksesan yang digapainya saat ini berkat prinsipnya tersebut. Baginya, memiliki ide saja tidak cukup jika tidak diiringi oleh tindakan. Hal itu berlaku saat pertama kali pria asal Bukittinggi, Padang, membentuk situs crowdfunding itu.
Keputusan besar Timi dimulai pada 2011. Saat itu, dia ingin keluar dari tim rumah perubahan milik akademisi dan praktisi bisnis, Renald Khasali. Dua tahun berselang, tepatnya pada 2013, Timi mengambil tindakan untuk lebih fokus mengelola dan mengembangkan kitabisa.com.
Pada saat itu, yang ada di benaknya adalah memfasilitasi kebutuhan dana masyarakat. Terutama, untuk berobat maupun sebagai sarana beramal kepada yang terkena musibah.
“Ya sebenernya alasan keluar banyak. Saya lihat kitabisa.com harus dikembangin. Harus full-time. Tapi secara umum, alasan kenapa harus fokus karena banyak orang yang butuh alat penggalangan dana,’’ tuturnya.
Salah satu keyakinan bahwa masyarakat butuh wadah untuk penggalangan dana adalah melalui banyak broadcast. Isinya, mengajak untuk mengumpulkan bantuan. Tapi, lantas ada keraguan benar atau tidak informasi itu. ’’Transparan atau tidak, kalau terkumpul kelanjutannya gimana. Harusnya (pola) itu bisa di fasilitasi,” jelas Timi.
Pembentukan kitabisa.com sendiri terinspirasi saat dirinya melakukan riset terhadap situs-situs penggalangan dana yang ada di dunia. Salah satunya crowdfunding.com. Keinginannya membentuk kitabisa.com kian kuat saat dirinya termotivasi oleh kata-kata Bapak Proklamator Indonesia, Moh. Hatta–Jiwa masyarakat desa Indonesia adalah jiwa gotong-royong. Jiwa gotong-royong itu coba disesuaikan dengan kemajuan zaman.
“Crowdfunding sudah banyak terjadi di luar negeri. Di Indonesia belum banyak. Menarik konsepnya,” tuturnya.
Pada awal pembentukannya, pria lulusan Universitas Indonesia itu hanya dibantu oleh satu orang admin. Kemudian, satu rekannya yang baru kembali dari New Zealand bernama Vikra Ijas. Rekannya itu juga sekaligus menjadi co-founder kitabisa.com.
Pria berusia 25 tahun itu mengakui, bagian tersulit dari dibangunnya kitabisa.comadalah membangun kepercayaan. Masyarakat tidak mudah begitu saja percaya terhadap sesuatu yang asing mereka dengar, apalagi sebagai wadah untuk berdonasi.
Hal itu tidak mengendurkan niatnya untuk terus membangun kepercayaan kepada masyarakat. Jika start-up miliknya merupakan wadah terpercaya untuk beramal kepada sesama. Itu dibuktikan dengan dibentuknya badan hukum dan mendirikan PT yang diberi nama PT Kita Bisa Indonesia.
“Bagiamanapun, kita menjadi wadah untuk orang bisa berdonasi. Menitipkan uangnya atau amalnya. Harus dijaga banget kepercayaan itu. Makanya, sekarang kita berbadan hukum resmi dari Kemensos dan diaudit sama kantor akuntan publik,’’ urainya.
Pada 2015 menjadi titik balik dari kesuksesan Timi membangun kitabisa.com. Saat itu, kitabisa.com berhasil mengumpulkan donasi sebesar Rp 7,2 miliar. Melonjak drastis dari 2014 yang hanya mendapat Rp 892 juta. Setelah itu, kitabisa.com benar-benar menjadi rujukan untuk beramal atau membantu sesama.
Buktinya, donasi yang terkumpul pada 2016 menembus Rp 61 miliar. Tahun ini, donasi yang terkumpul hingga Oktober mencapai Rp 162,8 miliar. Salah satu kampanye efektif dari kitabisa.com adalah, banyak masyarakat yang butuh biaya medis untuk keluarga maupun kerabatnya.
Berawal dari itu, banyak yang akhirnya membuat kampanye di kitabisa.com dan menyebarkannya melalui media sosial. Paling sering, keluarga muda yang punya anak baru lahir, sakit, dan butuh dana besar. Tetapi, mereka tidak punya uang dan membuat kampanye penggalangan dana.
’’Lalu mereka sebarkan ke teman-temannya. Orang bisa baca, klik, dan share lagi di media sosial. Akhirnya viral, dan lantas beramal. Jadi kita kayak kotak amal zaman now,” terangnya.
Lalu bagaimana Timi menjaga keberlangsungan perusahaan ?
Timi sadar, bahwa memberi dampak sosial saja tidak cukup. Dirinya paham betul bahwa perusahaannya juga memerlukan napas panjang agar tetap bisa berdiri kokoh sebagai wadah donasi. Timi akhirnya memutuskan untuk mengenakan biaya administrasi sebesar lima persen dari setiap dana terkumpul.
Namun, pengenaan biaya itu tidak berlaku bagi pengumpulan donasi untuk bencana alam. Duit itu lantas digunakan untuk bayar kantor, operasional dan sebagainya. “Perlu ada sustainability yang kita dapat dari biaya administrasi sebesar lima persen dari penggalangan dana. Itu biasa dilakukan di luar negeri juga. Kecuali bencana alam, itu nol persen,” imbuhnya.
Seiring berjalannya waktu, kitabisa.com semakin dipercaya masyarakat sebagai wadah donasi untuk mereka yang membutuhkan. Bahkan, kepercayaan itu juga hadir dari publik figur maupun tokoh publik seperti Wali Kota Bandung.
Timi berharap ke depan, perusahaan yang dibangunnya bisa dapat terus menjadi kepercayaan masyarakat dalam menggalang donasi. Donasi yang tentunya memberi secercah asa bagi mereka yang kehilangan harapan.